Peranan Prefontal Cortex Pada Perilaku Resistance To Change Di Era Transformasi


Perubahan organisasi merupakan suatu kondisi yang hampir dilakukan oleh seluruh organisasi sebagai suatu upaya perbaikan diri ke arah yang lebih baik. Dalam perubahan tidak jarang terjadi pro dan kontra mengenai perubahan tersebut. Perbedaan persepsi mengenai perubahan tentunya dapat menghambat serta memperlambat proses perubahan. Pertentangan perubahan di organisasi umumnya muncul pada level individu, kelompok kemudian ke dalam struktur organisasi (Robbins, 2008). Perubahan organisasi merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi di dunia organisasi, Adanya AFTA, MEA dan bentuk-bentuk perubahan di era globalisasi ini, membuat banyak organisasi/industry serta lembaga pendidikan yang melakukan perubahan, baik berkolalisi, merger ataupun akuisisi. Namun pada prakteknya perubahan tersebut tidak dengan begitu saja akan diterima oleh karyawan/anggota organisasi. Tidak sedikit karyawan/anggota organisasi yang resistence terhadap perubahan yang sedang terjadi di lingkungan organisasi. Perilaku ini tentu akan menghambat kemajuan serta proses perubahan organiasi. Resistensi terhadap perubahan merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi dalam manajemen perubahan dan harus diperhatikan secara serius untuk membantu organisasi mencapai keuntungan dari transformasi.Apabila merujuk dari pemahan ilmu neuropsikologi, semua perilaku yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan melaui neuropsikologi. Karena Neuropsikologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan anatara fungsi otak terhadap perilaku dan sebalikmya perilaku terhadap fungsi otak (Fuster, 1997).

Perilaku resistensi yang terjadi pada perusahaan yang berubah akan dijelaskan hubungannya melalui salah satu bagian otak beruba Prefontal Cortex. Prefontal cortex dianggap sebagai bagian yang paling berperan membentuk perilaku seseorang untuk menentang perubahan. Karena Prefrontal Cortex area diyakini sebagai lobus korteks terbesar yang berisi lima bidang utama untuk fungsi neuropsikiatri (planning, organizing, problem solving, selective attention, personality) dan fungsi motorik yang memediasi fungsi intelektual lebih tinggi (higher cognitive functions) yakni termasuk emosi dan perilaku. Fungsi eksekutif juga dilakukan oleh daerah Prefrontal Cortex, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk membedakan antara pikiran yang saling bertentangan, menentukan baik dan buruk, lebih baik dan terbaik, yang sama dan berbeda, konsekuensi masa depan dari kegiatan saat ini. Prefrontal cortex pada manusia berfungsi untuk mengurus, mengintergrasikan, memformulasikan, memilih, memonitor, memodifikasi, dan menilai semua kegiatan sistem syaraf yang ada (Stuss and Benson. 1987).

Perubahan pada dasarnya sesuatu yang wajar terjadi, tetapi apabila perubahan berlangsung cepat dan mendadak dapat menimbulkan ketidaksiapan sehingga tidak menutup kemungkinan orang akan menentang perubahan tersebut. Di dalam otak terdapat bagian Girus Singulat Anterior (GSA) yang berfungsi untuk mengatur fleksibilitas, kenyataannya tidak semua orang memiliki fungsi GSA yang baik sehingga menimbulkan kekakuan dan kesulitan untuk mengalihkan perhatian (Amen, 2012). Selain itu kondisi Prefontal korteks yang mengalami luka, gaya hidup tidak sehat dan penggunaan obat-obatan secara berlebihan juga dapat menyembabkan fungsi prefontal cortex sebagai pengendali perilaku, perencanaan, penyelesaian masalah tidak dapat berjalan dengan benar, Sehingga self-awareness dan self regulation tidak dapat bekerja dengan maksimal dalam menghadapi perubahan yang sedang terjadi (Amen, 2012; Picton & Stuss, 1994; Stuss & Benson, 1986; Stuss, 1991a , b; Stuss, Picton & Alexander).

Bentuk gangguan perilaku yang dihasilkan apabila terjadi kerusakan pada frefontal cortex secara tidak langsung dapat dihubungkan dengan sumber-sumber resistensi yang disebutkan oleh beberpa ahli, antara lain:

  1. Difficulties in making mental or behavioral shifts. Permasalahan yang dapat terjadi pada attensi, perubahan gerakan, atau fleksibilitas dalam sikap, berada dalam lingkup perseveration atau rigidity (kekakuan). Bila dihubungkan dengan sumber resistensi, individu yang menentang perubahan karena terbiasa melakukan hal yang rutin sehingga telah tertanam nilai-nilai sebelumnya yang sulit digantikan dengan kegiatan yang akan menghasilkan nilai baru. (Goldberg dan Tucker, 1979; Walsh dan Darby, 1999).
  2. Problems in stopping – impulsivitas, reaksi berlebihan, disinhibisi, dan kesulitan menahan respons yang salah atau yang tidak diinginkan, khususnya ketika respon itu memiliki nilai asosiasi yang kuat atau merupakan bagian dari rantai suatu respon. Hal ini berhubungan dengan salah satu sumber resistensi yaitu ketakutan akan hasil perubahan dan takut gagal dalam melakukan perubahan
  3. Deficient self-awareness. Menghasilkan ketidakmampuan untuk mempersepsi kinerja yang salah (error), untuk mengapresiasi dampak yang dibuat pada orang lain, untuk mengukur situasi social dengan baik/cocok, dan untuk berempati pada orang lain. Hal ini berhubungan dengan sumber resistensi yaitu ketidakmampuan melihat masa depan dengan jelas
  4. A congrete attitude, atau hilangnya sikap abstrak (Goldstein, 1948). Hal ini menunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk memisahkan diri dari lingkungan yang mengelilinginya dalam sikap lateral dimana objek, pengalaman, dan perilaku termasuk pada nilai yang jelas. Pasien menjadi tidak mampu untuk merencanakan dan meramalkan atau mempertahankan perilaku mencapai tujuan (goal-directed behavior). Dimana dalam melakukan perubahan seseorang harus mampu merencanakan visi, harapan serta tujuan perubahan yang ingin dicapai di masa depan, ketidakmampuan merumuskan tujuan akan menimbulkan resistensi pada perubahan.

Self-Regulation juga hal yang memiliki andil pada perilaku menentang perubahan, pengaturan diri mengacu pada kemampuan diri mengubah tanggapan sendiri karena keadaan di luar diri. Self-regulasi merupakan salah satu fungsi eksekutif yang utama dalam diri. Fungsi eksekutif diri mengacu pada, aspek disengaja aktif (Baumeister, 1998; Gazzaniga, Ivry , & Mangun, 1998) dan dapat dianggap sebagai bagian dari diri yang pada akhirnya bertanggung jawab atas tindakan individu. Fungsi eksekutif utama lainnya dari diri adalah pilihan. Diri tidak hanya dapat memulai perilaku atau mengontrolnya, tetapi diri juga bertanggung jawab untuk berunding dan membuat pilihan dari lingkungan dari pilihan yang memungkinkan. Kondisi organisasi yang fluktuatif memaksa individu untuk mampu melakukan self-regulasi dengan baik. tentunya self regulasi dapat dijalankan dengan benar apabila kondisi/fungsi otak tidak mengalami gangguan yang menghambat kemampuan individu melakukan self regulasi.

Menurut Dr Amen (2012) terdapat beberapa hal yang dapat melemahkan fungsi otak dan berdampak pada perilaku individu. anatara lain: Trauma fisik, Penggunaan obat-obatan secara berlebihan, Alkhohol, Obesitas, Kelainan hormonal, Malnutrisi, Stres Kronis, Kurang tidur, Merokok, Kafein Berlebihan, Kurang berolahraga dan lain-lain. Oleh karena itu diharapakan individu mampu menjaga kesehatan otaknya agar otak dapat berfungsi maksimal, sehingga akan dihasilkan perilaku yang sesuai dengan nilai, norma tidak bertentangan dengan lingkungan di sekitar individu tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara otak dan perilaku sangat erat, dimana otak dapat membentuk perilaku dan kepribadian individu. Perilaku yang tidak sehat, akan mencerminkan fungsi otak yang tidak bekerja dengan baik. Hal ini menjadi alasan khususnya pada organisasi yang mengalami perubahan, terdapat anggota organisasi yang tidak mendukung perubahan dan akan menjadi penghambat organsasi tersebut untuk maju. Kini dapat diketahui fungsi otak bagian prefontal cortex yang memegang peranan untuk menjelaskan perilaku karyawan yang resistence terhadap perubahan.


Leave a Reply